“ Bunda, kenapa Bi Idah harus jualan? Kenapa anaknya enggak sekolah? kata Bunda sampah harus dibuang ke tempat sampah tapi kok suami Bi Idah malah ngambilin sampah dari rumah kita? ” sederet pertanyaan yang Milly kecil tanyakan pada Bundanya. Milly kecil menyaksikan Bi Idah ~penjual gorengan langganan Bunda yang selalu datang setiap pagi kerumah~ dengan keheranan. Jawaban Bunda tidak pernah memuaskan hatinya. Ia merasa pertanyaannya sama sekali tidak pernah ada yang terjawab atau lebih tepatnya terselesaikan. Milly kecil menyaksikan bagaimana Bi Idah yang berkelana dengan dagangan dalam baskom tersampir di pinggangnya dari pagi hingga petang penuh peluh, sangat berbeda dengan Bundanya yang pergi berpraktek di ruangan bagus dan dingin setiap harinya. Yap , anak 7 tahun pun sangat mengerti arti sebuah simpati. Milly menangis, entah ia sendiri pun tidak mengerti karena apa setiap melihat Bi Idah datang kerumah bersama anaknya dan kemudian suaminya datang siang harinya ke rumah. Milly kecil berdoa pada Tuhannya seraya sesenggukan menghapus tangis dengan lengan bajunya. “ Ya Allah, kenapa anak Bi Idah enggak pernah main lego kayak Milly? Kenapa anak Bi Idah enggak punya Barbie? Kenapa anak Bi Idah ikut jualan sama Bundanya bukannya pergi ke sekolah kayak Milly? Beri ia mainan Ya Allah, juga Milly mau anak-anak Bi Idah semuanya sekolah Ya Allah. Semoga doa Milly dikabulkan ya Allah. AMIN. “
Hampir habis akal Milly kecil mencari jawaban atas segala pertanyaan yang tak pernah ada habisnya, lantas ia tulis sebuah surat .
Saya Milly kelas 2 sekolah di SD Mutiara Bunda Cikampek..bapak presiden kenapa di dekat rumah saya masih banyak orang yang enggak sekolah? Saya enggak ngerti apa memang males atau enggak bisa sekolah? juga kenapa masih banyak orang yang kelaparan padahal Milly makan enak buatan Bunda setiap hari? Milly sedih sekali..Milly suka nangis loh bapak presiden enggak tahu kenapa. Apa bapak presiden juga sama kayak Milly suka nangis? Harapan Milly semoga bapak presiden mau membaca surat Milly supaya Milly jadi seneng. Terimakasih bapak SBY. =D
Salam manis, Milly.
Esoknya sepulang sekolah masih dengan seragam merah putih lengkap Milly datang sendiri ke kantor pos dekat rumahnya. Ia bertanya kepada petugas kantor pos setengah baya yang sedang sibuk membubuhkan stempel pada surat-surat yang hendak dikirim atau diantar kerumah. “Bapak, halo saya Milly. Nama bapak siapa? pak Milly mau tanya..kalau mau ngirim surat ke bapak presiden supaya nyampe harus pake perangko berapa rupiah? Milly punya uang sepuluh ribu dari tabungan. Mahal enggak yah pak?” Bapak petugas yang bernama Pak Salim ini kaget serta-merta tersenyum akan kepolosan dan keluguan gadis kecil dihadapannya. Ia terenyuh akan ketulusan gadis kecil ini yang datang sendiri demi mengirim surat . “ Coba suratnya Milly mana serahkan sama bapak Salim, nanti Insya Allah bapak yang sampaikan ya. Perangkonya dari bapak saja. ” Milly tersenyum berterima kasih dan melonjak kegirangan. Rambut kepang kudanya terkibas seiring tiupan angin. Milly membisikkan sesuatu di telinga pak Salim “ Makasih pak Salim, Milly mau titip salam sama pak SBY ya..pak Salim boleh baca isi surat Milly tapi selain itu enggak boleh ada lagi yang baca ya. Janji? =D ” Milly mengecup tangan pak Salim dengan hormat seraya berbisik lagi “ pak, Milly berharap suratnya bisa dibaca sama bapak SBY ya..soalnya Milly sedih banget banyak temen Milly yang enggak sekolah..Milly pulang ya pak harus les balet dulu..dadah bapak! ”
Batin pak Salim meratap sedih, tergugah akan kepolosan gadis kecil berhati luas yang baru saja pergi dari hadapannya. Ia bertekad untuk berusaha menyampaikan surat Milly dengan mengantarnya sendiri ke Istana Presiden, bagaimanapun caranya.
Bersambung..